Kamis, 10 Februari 2011

Arti Ketekunan

Aku salah seorang mantan guru sekolah musik dari Des Moines, Iowa. Selama 30 tahun aku mengajar piano. Selama itu pula aku menemukan bahwa setiap anak mempunyai kemampuan musik yang berbeda. Aku tidak pernah merasa telah berbuat sesuatu yang besar, walaupun aku telah mengajar beberapa murid yang berbakat. Meski demikian, aku ingin bercerita tentang seorang muridku yang paling berkesan, namanya Robby.

Robby berumur 11 tahun saat ibunya memasukkannya untuk mengikuti les pertama kalinya. Sebenarnya, aku lebih suka kalau muridku mulai belajar pada usia yang lebih muda. Dan, aku menjelaskan hal tersebut kepada Robby. Tetapi Robby mengatakan bahwa ibunya ingin sekali mendengar ia bermain piano. Jadi, aku menerimanya sebagai murid.

Lalu, Robby memulai kursus pianonya. Sejak awal, aku berpikir bahwa ia tidak ada harapan. Robby mencoba, tetapi ia tidak mempunyai perasaan akan nada maupun irama dasar yang perlu dipelajari. Namun, ia dengan serius mempelajari tangga nada dan beberapa pelajaran awal yang aku wajibkan untuk dipelajari oleh semua murid.

Selama beberapa bulan, ia terus mencoba dan mendengarnya dengan ngilu, tetapi tetap memberinya semangat. Setiap akhir pelajaran mingguan, dia selalu berkata, “Ibuku pasti akan mendengarkan aku bermain piano pada suatu saat nanti.” Tetapi, rasanya semua sia-sia saja, ia memang tidak mempunyai bakat.

Aku sering melihat ibunya dari jauh, saat menurunkan dan menjemputnnya. Ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, tetapi tidak pernah turun. Pada suatu ketika, Robby tidak datang les lagi, dan aku pernah berpikir untuk menghubunginya. Tetapi dalam hati aku berpikir bahwa karena ketidakmampuannya, mungkin ia mengambil kursus bidang lain. Aku juga senang karena ia tidak datang lagi. Ia menjadi iklan yang buruk bagi tempat kursusku!

Beberapa minggu sesudahnya, aku mengirimkan undangan kepada semua murid, termasuk Robby, mengenai pertunjukan yang akan dilaksanakan. Hal yang membuatku kaget adalah ketika Robby meminta agar ia dapat ikut bermain dalam pertunjukan tersebut. Awalnya, aku menolak dan mengatakan bahwa pertunjukan itu hanya untuk murid yang ada sekarang. Karena ia telah keluar, tentu ia tidak dapat ikut serta. Robby mengatakan bahwa ibunya sakit sehingga ia tidak bisa mengantarkannya ke tempat kursus, tetapi dia tetap terus berlatih.

“Bu Honford, tolonglah... aku ingin ikut bermain!” Ia meminta dengan memelas. Aku tidak tahu hal apa yang membuatku akhirnya menizinkannya bermain pada pertunjukan itu. Mungkin karena kegigihannya atau mungkin ada suara yang berkata dalam hatiku bahwa ia akan baik-baik saja.

Tibalah malam saat pertunjukan itu berlangsung. Aula itu dipenuhi oleh para orang tua, teman, dan relasi. Aku menaruh Robby pada urutan terakhir untuk bermain sebelum giliranku maju ke depan, untuk berterima kasih dan memainkan bagian terakhir. Aku yakin bahwa Robby akan membuat kesalahan dan aku akan menutupinya dengan permainanku.

Pertunjukan itu berlangsung tanpa masalah. Murid-murid telah berlatih dan hasilnya baik. Lalu, tibalah giliran Robby untuk naik ke panggung. Bajunya kusut dan rambutnya berantakan. “Kenapa dia tidak berpakaian seperti murid lainnya?” pikirku, “Kenapa ibunya tidak menyisir rambutnya, setidaknya untuk malam ini?” Robby menarik kursi piano dan mulai bermain.

Aku terkejut saat ia menyatakan akan memainkan Mozart Concerto #21 pada C Mayor.

Jarinya lincah di atas tuts, bahkan menari dengan gesit. Ia berpindah dari pianissimo ke fortissimo... dari allegro ke virtuoso. Accord gantung yang diinginkan Mozart sangat mengagumkan! Aku tidak pernah mendengar lagu Mozart dimainkan oleh seorang seusia dia dan sebagus itu!

Setelah enam setengah menit, Robby mengakhirinya dengan crescendo besar dan semua orang terpaku di sana, dengan tepuk tangan yang meriah. Dengan berurai air mata, aku naik ke panggung dan memeluk Robby dengan sukacita. “Aku belum pernah mendengar kau bermain seperti itu, Robby! Bagaimana kau dapat melakukannya?”

Melalui pengeras suara Robby menjawab, “Ibu Honford... ingatkah saat kukatakan bahwa ibuku sakit? Ya, sebenarnya ia sakit kanker dan ia telah meninggal dunia pagi ini. Dan sebenarnya... ia tuli sejak lahir. Jadi, hari inilah ia pertama kali mendengar aku bermain piano. Dan, aku ingin bermain secara khusus.”

Tiada seorang pun yang matanya kering malam itu. Ketika orang-orang dari panti sosial membawa Robby dari panggung ke ruang pemeliharaan, aku menyadari bahwa meskipun mata mereka merah dan bengkak, betapa hidupku jauh lebih berarti karena telah mengambil Robby sebagai muridku.

Tidah, aku tidak pernah menjadi penolong, tetapi malam itu aku menjadi orang yang ditolong oleh Robby. Dialah guru dan akulah muridnya.

Karena Robby-lah yang mengajarkan arti ketekunan, kasih, percaya pada diri sendiri, dan bahkan mau memberi kesempatan kepada seseorang yang dianggap buruk.

Peristiwa ini semakin berarti bagiku, saat aku mendengar kabar bahwa Robby terbunuh dalam pengeboman yang tidak masuk akal yang terjadi di Alfred P. Murah Federal Building di Oklahoma pada bulan April 1995. Saat itu dilaporkan bahwa Robby sedang bermain piano.

Oleh sebab itu, percayalah bahwa ketekunan, kasih, dan rasa percaya diri akan memiliki suatu arti. Ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

***

Begitulah, kadang kita begitu mudah menganggap remeh orang lain. Kita kadang tidak pernah mau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk membuktikan kemampuannya atas sesuatu. Kita lebih sering mengukur dan menimbang kemampuannya melalui penglihatan fisik. Penilaian yang diambil dalam waktu singkat melalui perbincangan singkat.

Tak jarang, kita begitu takut menghadapi kekecewaan dan begitu takut untuk dipermalukan di hadapan orang banyak, sehingga kita memilih untuk menurunkan standar pengharapan (lowering expectation) kita akan sesuatu atau atas seseorang.

Lebih baik mencegah daripada harus memperbaiki. Apalagi kalau kita sudah mengetahui konsekuensinya. Tetapi sesungguhnya, jika kita membuka hati, berani mengambil risiko untuk menghadapi segala sesuatu, percayalah, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga. Menaruh pengharapan penuh akan hal yang indah yang dapat kita raih dan dapat kita ciptakan. Karena, segala sesuatunya adalah datang dari dalam diri kita sendiri.

Ketulusan adalah sesuatu hal yang indah, yang mendatangkan kebaikan, yang menyempurnakan segala sesuatunya. Jagalah hati, supaya diri kita selalu tulus dan membuka hati, menerima segala sesuatu dengan apa adanya, tanpa embel-embel atau pamrih. Tuhan-lah yang membalaskan segala sesuatunya kepada kita. Lakukanlah yang terbaik, dan biarkanlah Tuhan yang menyempurnakannya. Percayalah, apa saja yang kita lakukan, pasti berhasil.

(Abdul Azid Muttaqin, Monyet & Kacang Kegemarannya)

Senin, 08 November 2010

Menuntut Diri (Soal Disiplin Diri)

Ternyata, jadi seorang Beckham atau Ronaldinho benar-benar tidak gampang. Kenapa? Karena mereka adalah orang-orang yang terlatih. Tidak ada hari tanpa melatih diri untuk membuat tendangan mereka akurat. Kalau Beckham berlatih, dia bukan cuma berlatih menendang bola ke gawang. Tetapi di gawang itu, dia gantung ban bekas. Baginya, keberhasilan tendangannya bukan cuma masuk ke gawang, tetapi masuk ke lubang ban itu. Ternyata dia terbiasa menuntut diri dengan standar yang tinggi, sehingga tidak heran kalau tendangannya lebih banyak yang akurat, walau sesekali dia membuat blunder juga.

Untunglah ada para pekerja lapangan hijau, sehingga masih bisa belajar sesuatu. Umumnya, mereka punya disiplin diri yang tinggi, punya target pribadi yang kuat, dan winning philosophy yang berani. Coba saja simak pemain muda asal Brazil, Ronaldinho, untuk musim kompetisi dan kejuaraan dunia yang ia ikuti. Pemain yang arti namanya dalam bahasa Portugal adalah Little Ronaldo ini dengan berani mengatakan, bahwa bersama timnya di Barcelona maupun di timnas Brazil, ia akan mempertahankan gelar Liga Primera Spanyol, merebut tropi Liga Champion, dan menjuarai Piala Dunia 2006!

“Tiga kompetisi ini yang paling penting buat saya. Saya akan bekerja maksimal untuk mendapatkan satu demi satu gelar itu dalam musim ini, “ kata striker Brazil ini. Eh, belum tujuannya tercapai, ia malah mendapat gelar pemain terbaik di Eropa, bahkan di dunia di tahun 2005! Pantas saja dia jadi pemain besar….

Terlepas apakah tekadnya kesampaian atau tidak, ia punya standar prestasi yang tinggi, filosofi bertanding yang berani, dan tentu juga karena didukung oleh kemampuan diri dan timnya di Barcelona dan Brazil. Dalam konteks masing-masing, dengan kemampuan masing-masing, perlu juga filosofi seperti ini. Tentu jangan membuat target berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuan sehingga membuat kita jadi pemimpi yang cenderung gila, tapi juga jangan sampai tidak punya target sama sekali dan lebih banyak bersikap santai-santai aja.

Tetapi, semua tidak datang secara instan dan otomatis. Semua adalah berkat kerja keras, melatih diri, dan punya sikap menuntut diri untuk menang.

Inilah yang sangat kurang pada mental bangsa kita yang merasa di surga melihat tanggal-tanggal libur di kalender. Bangsa ini masih belum terlatih dan belum mau melatih diri untuk bersaing secara sehat dan memiliki standar yang memacu diri lebih maju. Bangsa ini lebih suka merendahkan lawan agar dirinya tampak baik, daripada mengoreksi diri agar dirinya lebih baik daripada lawan.

Kebanyakan masyarakat di negeri ini masih sangat miskin; bukan hartanya, tetapi kualitas untuk menuntut dirinya.

(Gheeto TW, Kick n' Goal)

Reputasi (Soal Menjaga Hidup Dengan Konsisten)

Setiap pemain punya catatan hidup sendiri-sendiri dalam perjalanan hidupnya. Pele terkenal akan reputasinya sebagai pembuat gol jungkir balik, juga pembuat rekor gol terbanyak di dunia. Roberto Carlos dengan tendangan bola matinya yang akurat, atau Ronaldinho dengan gol-golnya yang cantik.

Tapi bagaimana dengan catatan-catatan hidup yang buruk? Maradona dengan gol “tangan Tuhan”, tendangan kung fu Eric Cantona yang menyebabkan ia diskors, kasus doping Rio Ferdinand, bukanlah reputasi yang membanggakan. Kalau bisa catatan ini dihilangkan saja.

Catatan-catatan sepanjang perjalanan hidup akan menghasilkan sebuah reputasi. Reputasi adalah sebuah kesimpulan hidup, yang tersusun dari catatan-catatan itu; entah lebih banyak baik atau buruknya. Reputasi adalah sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan panjang, dalam triliunan detik yang dijalani setiap insan.

Saya memperhatikan beberapa orang yang mengingini jabatan lebih tinggi, presiden misalnya. Menjelang pemilihan presiden, ada di antara mereka yang tiba-tiba saja bisa menjadi seorang penulis buku. Buku otobiografi. Dikumpulkanlah catatan-catatan baik dalam hidupnya, dengan harapan akan nampaklah sebuah reputasi yang mengagumkan. Tapi sayangnya, catatan-catatan yang bisa membuatnya terpuruk disimpan rapat-rapat dengan harapan rakyat akan mengalami amnesia seumur hidup. Kemudian bukunya dikomentari oleh catatan-catatan kata dari para pengamat politik, atau tokoh-tokoh penting. Tindakannya dipuji-puji, dengan harapan catatan reputasi baik dalam buku itu, bisa dijadikan bahan acuan rakyat, agar memilihnya saat pemungutan suara. Begitulah salah satu cara orang menyusun reputasinya sendiri. Tapi catatan perjalanan reputasi paling lengkap, mungkin dicatat oleh hati nurani, dan data-datanya, baik atau buruk, dipantau langsung oleh “pencatat reputasi hidup yang abadi”, sebuah catatan yang pasti paling jujur, akurat, dan lengkap.

Perjalanan sebuah reputasi akan berakhir saat manusia mati. Ibarat pepatah mengatakan, macan mati meninggalkan belangnya, manusia mati meninggalkan nama. Sedangkan nama, entah baik atau buruk, terjadi karena perjalanan reputasinya.

Reputasi berakhir saat hidup juga ikut berakhir. Hidup adalah masanya menjaga reputasi. Steven Covey mengajak pembacanya untuk membayangkan apa yang akan dikatakan orang-orang yang mengenal kita saat masa berlaku di dunia berakhir. Apakah komentar mereka bagus atau buruk? Semuanya tergantung hidup di bumi, dan setelah nyawa meninggalkan bumi, tak ada lagi kesempatan kedua.

Saya tidak mungkin bisa melupakan final Champions antara MU dan Bayern tahun 1999. Saat itu, Bayern sudah menang 1-0, dan pertandingan sudah memasuki injury time, saat pertandingan hampir berakhir. Tapi di detik-detik terakhir itulah, dengan cerdiknya Ferguson memasukan dua pemain cadangan, Ole Gunnar Solksjaer dan Teddy Sheringham. Yang satu masih muda, dan yang satunya lagi sudah tua. Dua pemain yang mungkin tidak masuk hitungan tim lawan. Tetapi, sejarah mencatat bahwa kedua pemain itulah yang justru membuat gol. Bahkan MU menang dengan skor 2-1.

Lalu, apa hubungan antara kemenangan MU dan reputasi? Dari pertandingan itu, saya disadarkan bahwa sepak bola adalah representasi kecil dari hidup. Dari pengalaman Bayern, saya diajak untuk waspada, kalau sesungguhnya reputasi harus tetap dipertahankan setiap detik, hingga detik-detik terakhir. Karena godaan untuk jatuh, untuk membuat catatan reputasi jadi buruk, tersebar di setiap detik hidup yang berjalan ini. Selama masih hidup, dan selama belum mati, perjuangan untuk melakukan tanggung jawab masih terus-menerus dituntut oleh hidup ini. Jika saat ini kita berada di posisi atas, maka bukan tidak mungkin adan mengalami keterpurukan.

Karena reputasi yang baik punya saudara kembar siam: konsisten!

(Gheeto TW, Kick n' Goal)

Kamis, 19 Agustus 2010

Kegagalan Demi Kegagalan (Soal Ketidaksempurnaan Manusia)

Kelihatannya saja Pavel Nedved, Thiery Henry, David Trezeguet, atau Adriano itu hebat, bisa melesakkan beberapa gol dalam setiap pertandingan, atau menjadi top scorer dalam satu liga. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, sebetulnya mereka cuma manusia yang hanya bisa membuat beberapa gol saja, bila dibandingkan dengan waktu hidup yang disediakan untuk mereka. Selebihnya hanyalah kegagalan demi kegagalan untuk menciptakan gol.

Saya punya teman yang tidak suka nonton bola. Bagi dia pertandingan bola itu blo’on banget. Masa’ ada 22 orang laki-laki di lapangan lari-larian kesana kemari cuma untuk mengejar satu bola, apanya yang menarik? Lagipula, sepanjang pertandingan teman saya itu hanya melihat usaha-usaha pemain untuk membuat gol, tapi sebagian besar dari usaha-usaha itu ternyata hanya berbuah kegagalan. Kira-kira dari 25 kali usaha untuk membuat gol, dan beberapa tendangan yang mendekati gawang, paling yang berhasil hanya 1, 3, atau 5 gol saja. Selebihnya adalah kegagalan demi kegagalan doang.

Saya pikirkan omongan dia. Mmm, ada betulnya juga pendapat dari pengamat “sepak blo’on” ini. Ternyata dari 90 menit waktu tersedia, sebuah tim hanya bisa membuat beberapa gol saja. Bagi teman saya itu, harusnya dari 5400 detik di 90 menit pertandingan itu, minimal ada 5000 gol! Bagi dia, menyaksikan pertandingan sepak bola hanyalah menyaksikan kegagalan demi kegagalan. Sedikit gol yang tercipta, tidak sebanding dengan waktu yang tersedia. Seharusnya, pencipta gol tidak punya sikap bangga diri, tapi sikap rendah hati, sambil berkata, “Duh, saya cuma bisa menghasilkan segini saja, saya tidak boleh berbangga diri….” Saya jadi mikir, apa bedanya dengan hidup ini. Seperti pertandingan bola, hidup ini, ternyata kalau dihitung-hitung, lebih banyak gagalnya daripada suksesnya. Ternyata kebanyakan hanya bisa membuat peluang untuk jadi gol, tapi tidak semua bisa jadi gol.

Soichiro Honda mengatakan, “Yang dilihat orang pada kesuksesan saya hanya 1%, tetapi apa yang tidak mereka lihat adalah 99%, yaitu kegagalan-kegagalan saya.” Suatu pengakuan yang luar biasa. Ia adalah salah satu manusia yang jujur dalam memandang hidup. Walau ia dikenal hebat dalam bidang otomotif, tetapi sesungguhnya kegagalan yang ia alami jauh lebih banyak dibandingkan keberhasilannya. Sama dengan permainan sepak bola, kesuksesan seorang pencetak gol hanyalah 1% dari 99% kegagalan mereka dalam berusaha mencetak gol ke gawang lawan.

Ternyata, manusia tidak punya alasan sama sekali untuk menjadi jumawa, atau sombong. Ternyata yang dilakukan manusia dalam hidup ini, jauh lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Itulah sebabnya, ilmu padi, “Semakin berisi, semakin merunduk” besar sekali artinya bagi hidup manusia. Artinya, semakin berisi, hebat, berprestasi, justru selayaknya makin rendah hati.

Saya jadi ingat kata-kata Ibu Teresa. Dia adalah pelayan kamu miskin di Calcuta, India. Suatu saat ada yang bertanya kepadanya, “Bu, Ibu telah melayani kaum miskin di Calcuta, tapi tahukah Ibu bahwa masih jauh lebih banyak orang yang tidak Ibu layani? Masih jauh lebih banyak orang miskin yang tidak terjangkau? Apakah Ibu tidak merasa gagal?” Dengan bijak Ibu Teresa menjawab, “Anakku, aku dipanggil bukan untuk berhasil, tapi aku dipanggil untuk setia….” Wow, jawaban yang luar biasa dari seorang yang rendah hati. Ia pernah mendapat hadiah Nobel, sebuah penghargaan yang luar biasa. Tapi ia punya ilmu padi, sehingga tidak muncul kesombongan, hanya kerendahatian yang ia tunjuakan. Karena ia tahu bahwa ternyata gol yang ia buat hanya sedikit, dan masih terlalu sedikit. Tidak ada alasan untuk membanggakan diri. Bagi Ibu Teresa, hidup adalah untuk tetap setia terhadap panggilan jiwanya.

Berbangga diri, mungkin tak seharusnya berlaku bagi pekerja lapangan hijau, apalagi pekerja kehidupan seperti kita.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)

Selasa, 17 Agustus 2010

The Best of Number Two (Soal Sadar Diri dan Menilai Diri)

Hidup ini tidak selamanya menjadi paling hebat, selalu jadi number one. Ada kalanya harus puas menjadi the best of number two, atau bahkan number three. Menjadi yang terbaik adala keharusan, dan melakukan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya bukanlah pilihan. Tapi untuk selalu menjadi yang nomor satu, tidak selamanya bisa dialami. Hidup ini wajar-wajar saja, tidak selalu di atas, tapi jangan sampai hobi terpuruk. Kalaupun terpuruk, ya, bangkit lagi.

Kita kenal salah satu pelatih yang the best, Arsene Wenger, yang pernah membawa Arsenal juara berturut-turut. Tapi di kancah eropa, justru belum pernah membawa timnya juara. Atau Guus Hiddink yang pernah melatih Korsel dan membawa Australia ke Piala Dunia 2006? Ia adalah salah satu yang the best. Tapi, walau kariernya dihormati di negeri orang, timnas negerinya orang itu belum memperoleh prestasi tertinggi di tangan Hiddink. Ia masih belum punya number.

Mereka-mereka itu adalah pelatih-pelatih yang selalu melakukan tanggung jawabnya dengan sangat baik, the best. Tapi mereka belum pernah merasakan jadi number one. Mereka adalah orang-orang yang the best, tapi belum menjadi the number one.

Ternyata dalam hidup ini kita harus jadi the best, tapi jangan menyesal kalau di zaman yang sama ternyata masih ada orang yang lebih hebat dan menempatkan kita dalam posisi number two. Tapi, tujuan mulia dari mengejar prestasi bukanlah untuk bersaing. Kadang terbayang di benak kita, “Kalau dia jadi nomor satu, saya juga harus jadi nomor satu.…” OK, kadang itu berhasil, kadang juga tidak. Manusia hidup bukan untuk saling mengalahkan. Kalau prinsip ini ada maka hasilnya adalah, “Saya nomor satu, kamu nomor dua.” Tetapi manusia hidup untuk saling respek, sehingga hasilnya adalah, “Kamu bagus, saya bagus, kamu bagus di sini, saya bagus di situ.”

Di zaman ini, manusia dilatih untuk selalu menjadi yang nomor satu. Manusia dilatih untuk tidak mengenal rasa takut, selalu berada pada prestasi puncak, bahkan dilatih untuk menyingkirkan rasa sama sekali. Tapi yang lebih parah adalah, manusia dimotivasi sedemikian rupa untuk menjadi “binatang-binatang aduan”, yang menekankan persaingan. Itulah sebabnya kemajuan manusia selalu beriringan dengan penyakit yang makin aneh-aneh dan mematikan, serta tingkat stres yang sangat tinggi. Manusia bukan mesin, dan tidak selamanya bisa berada dalam top performance. Selalu saja ada masa di mana manusia akan mengalami penurunan.

Mungkin ada baiknya untuk bisa membedakan, untuk menjadi the best atau menjadi number one. Menjadi nomor satu, titik pusat pergerakannya adalah persaingan. Carl lewis, sprinter kenamaan Amerika dalam film dokumenter The Ultimate Athlete, mengatakan, “Saat di garis start, saya tahu bahwa di kiri dan kanan saya adalah lawan-lawan saya yang siap mengalahkan saya. Tapi, saya tidak berlari untuk mereka….” Itulah sebabnya ia menjadi pelari dengan prestasi luar biasa. Ia berlari bukan untuk mengalahkan lawan, tetapi untuk menggapai tujuan dengan cara yang efektif dan cepat hingga garis finish. Itu saja resepnya. Dengan sendirinya, ia menjadi orang yang sekuat-kuatnya berlari untuk mencapai garis finish, walau tidak selamanya ia berada di prestasi terbaik sebagai the number one.

Menjadi yang terbaik, titik pusat pergerakannya bukan pada persaingan dan saling mengalahkan, tetapi pada pengerahan kemampuan yang terbaik dalam diri sendiri. Kalaupun harus menjadi nomor dua, setidaknya sudah melakukan yang terbaik. Menjadi yang terbaik bukan terpaku pada hasil, tapi pada kualitas hidup.

Kita diciptakan dengan kualitas terbaik yang telah diberikan Penguasa hidup. Jadi, melakukan yang terbaik adalah standar sehari-hari bagi hidup ini. Mengembangkan potensi diri yang sebesar-besarnya, perlu jadi gaya hidup. Tetapi jika di zaman yang sama hidup pula pribadi yang lebih baik dan menempatkannya menjadi nomor satu, it’s OK, karena yang penting adalah mempertanggungjawabkan hidup ini bagi Penguasa hidup itu tadi.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)

Minggu, 15 Agustus 2010

Waktu Terbatas (Soal Kesadaran pada Waktu)

Pertandingan bola, pasti dibatasi waktu. Mana ada main bola tanpa batasan waktu, kecuali main bola di gang depan rumah. Tidak beda dengan waktu hidup manusia. Ternyata hidup ini ada batasan waktunya. Suatu saat, tidak tahu kapan, waktu hidup ini akan habis masa berlakunya, dan manusia akan berada dalam kemenangan atau kesengsaraan yang abadi.

Saya ingat banget waktu final AC Milan melawan Liverpool dalam perebutan piala Champion tahun 2005. Waktu itu klub asal Inggris itu ketinggalan 0-3. Tapi dengan semangat yang luar biasa, mereka bisa menyamakan kedudukan, bahkan secara mengejutkan memenangkan pertandingan lewat adu pinalti! Saya salut dengan efektivitas waktu yang mereka gunakan untuk membawa klub asal Inggris itu menjadi jawara. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu dengan disiplin dan ketat. Sehingga waktu yang digunakan tidak sia-sia.

Ups, ternyata waktu hidup manusia itu sama saja: terbatas. Suatu saat masa berlakunya akan berakhir. Bedanya kalau dalam sepak bola ada 2x45 menit. Jika ada babak tambahan, bisa 2x15 menit. Tapi yang jelas, waktu pertandingan terbatas dan bisa diprediksi. Susahnya, waktu pertandingan manusia dalam hidup ini tidak ketahuan kapan berakhirnya. Kalau pemain bola masih bisa mengira-ngira waktu permainan. Kalau manusia? Waduh susah memprediksinya. Waktu hidup ini bisa berakhir besok, tahun depan, atau sebentar lagi. Bisa saat sehat, sakit-sakitan, atau kecelakaan. Bahkan sehebat-hebatnya peramal dalam meramalkan hidup orang lain, ia hanyalah manusia rapuh yang tidak bisa memprediksi waktu kematiannya sendiri. Nobody knows.

Pernah nggak gemas saat melihat kesebelasan favorit tidak bikin gol juga, padahal waktu tinggal sedikit, dan posisi tim sedang ketinggalan? Mungkin itulah yang terjadi pada orang-orang disekitar kita yang gemas karena kita tidak bangkit-bangkit juga dari sikap santai atau malas. Mungkin ada yang harus diperbaiki dalam manajemen waktu pribadi. Mungkin perlu memperbaiki kualitas hidup agar waktu yang cuma satu kali ini dibuat jadi berarti. Mungkin perlu belajar dari tim-tim dunia, dalam memanfaatkan waktu secara efektif.

Selama satu tahun hidup setiap insan, usianya kurang lebih 31.536.000 detik. Setiap detiknya hanya akan dilalui satu kali saja seumur hidup. Tidak percaya? Coba saja catat hari ini tanggal berapa, bulan apa, tahun berapa, jam berapa lengkap dengan detiknya. Akankah hari, bulan, tahun, jam dan detik ini terulan lagi? Maka tidak salah, bukan, kalau belajar dari akurasi penggunaan bola dari pekerja-pekerja lapangan hijau tingkat dunia? Karena kualitas pemainan mereka ditentukan dari seberapa efektif mereka memanfaatkan bola di kaki, seberapa akurat bola itu bisa membantu menghasilkan gol, di tengah keterbatasan waktu. Pelatih memperhatikan detail-detail seperti ini. Itulah sebabnya setiap detiknya, pertandingan sangat menegangkan. Saat injury time, atau waktu menjelang akhir pertandingan, apalagi kalau skor sangat ketat, bisa jadi waktu yang sangat... sangat menegangkan buat seorang pekerja lapangan hijau, juga bagi penonton, apalagi pelatih. Kemampuan seorang pemain tingkat dunia untuk memanfaatkan waktu dengan efektif itulah yang membuatnya punya harga yang amat mahal. Tidak beda kan dengan hidup yang sesungguhnya?

Semua manusia mengalami masa hidupnya setiap hari, setiap bulan dan setiap tahunnya sama saja. Hanya saja, tidak semua mampu memanfaatkan waktu yang terbatas ini dengan akurat dan bijaksana. Herannya, maaf, kadang kala hewan dan tumbuhan jauh lebih berhikmat daripada manusia. Misalnya semut, yang tidak punya pemimpin tetapi tidak pernah kehabisan makanan kerena ia kumpulkan tiap musimnya dengan disiplin. Bunga dan dedaunan adalah makhluk yang sangat sadar musim, tahu kapan waktu pembiakannya, dan tidak pernah kehabisan waktu. Tapi manusia, menurut Laurie Beth Jones dalam The Path (Kanisius, 2003) adalah satu-satunya spesies yang bisa menjadi pengangguran! Kenapa? Karena cuma manusia yang tahu apa artinya buang-buang waktu, tapi ya, dibuang-buang juga waktu yang dimilikinya itu. Cuma manusia yang bingung akan tujuan hidupnya. Sedangkan hewan dan tumbuhan selalu berkembang biak dalam musim kawin, dan berbuah pada musimnya secara teratur sejak mereka benih atau janin. Semuanya tepat waktu, teratur, konsisten, dan berkembang biak sesuai musimnya, walau tak ada pengontrolnya. Sekali-kali manusia perlu belajar dari ciptaan yang derajatnya lebih rendah.

Efektivitas terhadap waktulah yang membuat manusia jadi “mahal” dan “murahan.” Pekerja lapangan hijau adalah representasi kecil dari pelaku efektivitas itu, dan hitup ini adalah representasi besarnya.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)

Jumat, 13 Agustus 2010

Kiper Juga Manusia (Soal Keterbatasan Manusia)

Sorry kalau saya plesetin lagunya Seurieus, “Rocker Juga Manusia”, tapi serius deh, kiper juga manusia, bahkan kiper menunjukan siapa manusia sesungguhnya. Saya suka banget dengan beberapa pekerja lapangan hijau yang berada di bawah mistar gawang. Bagi saya, kiper yang bagus adalah punya perawakan tinggi, sigap, agak galak, dan punya pergerakan cepat. Misalnya Edwin Van Der Sar, kiper Belanda yang pernah main di Juve, terus ke Fulham, dan MU. Orang ini tinggi dan jago. Gawang MU jadi jarang kebobolan karenanya. Di Italia, ada Buffon yang tinggi, besar, dan mengerikan di bawah mistar.

Tapi di luar fenomena ajaib beberapa kiper tadi, ternyata kiper juga manusia biasa. Dan lebih lagi, kiper merupakan presentasi dari hidup ini sebagai manusia. Maksudnya begini. Apa sih ukuran keberhasilan seorang kiper? Apakah kiper yang berhasil itu adalah kiper yang tidak pernah kebobolan? Kalau itu ukurannya, mana ada kiper yang berhasil, karena semua juga pernah kebobolan. Ternyata kiper yang bagus, bukanlah kiper yang sama sekali tidak pernah kebobolan; tapi yang kebobolannya minimal.

Pelatih tentu akan kesengsem melihat kiper yang andal. Tapi rasanya tidak ada pelatih yang menuntut armada kipernya agar tidak pernah kebobolan sama sekali. Rasanya pelatih dapat mengerti kalau kipernya pernah melakukan beberapa kali kesalahan sehingga gawangnya kebobolan. Tapi pelatih akan segera bereaksi keras kalau gawangnya kebobolan melulu. Anggap saja hidup ini adalah “gawang” yang harus dijaga. Hidup ini indah, bukan? Tetapi ternyata hidup ini perlu dijaga supaya hidup ini tidak terjerumus dan hancur berantakan. Bahkan “gawang” kehidupan ini perlu dijaga jauh lebih lama dari kiper di lapangan.

Pertanyaannya adalah, apakah manusia bisa menjaga gawang kehidupannya dengan sempurna? Nah, itulah gunanya belajar dari kiper. Kiper paling hebat sekalipun, kalau dia loncat ke sisi kiri gawangnya, maka pasti yang kanan akan kosong. Kalau dia loncat ke kanan, pasti yang kiri kosong. Kalau dia loncat ke atas, maka sisi bawah akan lowong. Terlalu sering penjaga gawang tertipu oleh striker pintar macam Ronaldo. Kirain mau nendang ke kiri, nggak taunya ke kanan.

Setiap kali melihat kehebatan manusia, sesungguhnya akan terlihat pula, di saat yang sama, kelemahannya. Sehebat-hebatnya manusia, tetaplah ia insan dengan keterbatasan yang tidak “maha bisa.” Sisi baik seseorang manusia akan berjalan beriringan dengan kelemahan-kelemahannya. Manusia tidak omnipresence, hadir di segala tempat dalam satu waktu. Kiper-lah contohnya. Kehebatan manusia di satu bidang sesungguhnya akan diikuti ketidakmampuan di bidang lain. Kejeniusan Einstein di satu sisi, dibarengi kepikunannya yang parah. Kegemilangan prestasi Michael Jackson yang albumnya bisa habis lebih dari 50 juta kopi, disertai dengan kekosongan hidupnya akibat masa kecil yang habis untuk kegiatan menyanyi, ditambah dengan kesukaannya mengutak-atik tubuhnya dengan operasi plastik.

Setiap melihat para pekerja lapangan hijau beraksi dalam sebuah pertandingan sepak bola, terutama pada kiper, saya selalu bertobat untuk yang kesekian ratus kalinya memandang diri saya sendiri. Ya ampun, ternyata sisi baik dalam diri saya selalu diiringi dengan kelemahan dan keterbatasan. Bodohnya saya, kalau masih suka merasa bangga diri. Betapa gawang kehidupan ini tidak bisa saya jaga sendiri. Saya perlu menjaganya bersama orang-orang di sekeliling saya, rekan-rekan satu tim. Saya juga selalu merasa kecil dan hina, betapa tak mampunya saya menguasai seluruh lapangan kehidupan. Saya ternyata hanya bisa bertanggung jawab di sekitar kotak pinalti, tempat saya menjaga gawang hidup. Masih terlalu banyak pekerjaan yang tidak dan belum saya lakukan. Masih terlalu banyak waktu yang saya gunakan untuk diri sendiri.

Di tengah keterbatasan saya, saya cuma bisa mencoba untuk setia dengan panggilan hidup, walau mungkin cuma secuil. Yang saya dapat lakukan saat ini hanyalah memberitahukan sebuah pesan yang kecil dan sederhana kepada Anda bahwa yang kita lakukan selama ini masih sangat kecil dan tak berarti, hidup ini adalah karena rahmat yang tak terperi. Semoga ini berguna untuk mengikis kadar jumawa dalam hati. Karena tinggi hati hanyalah bukti bahwa manusia terlalu naïf memandang prestasi diri. Kadang kala, prestasi manusia terlalu dijunjung tinggi, padahal di bagian dunia lain masih banyak orang yang sama sekali tak menikmati secuil pun prestasi yang dianggap tinggi. Berterimakasihlah kepada kiper yang mempresentasikan ini.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)