Senin, 08 November 2010

Reputasi (Soal Menjaga Hidup Dengan Konsisten)

Setiap pemain punya catatan hidup sendiri-sendiri dalam perjalanan hidupnya. Pele terkenal akan reputasinya sebagai pembuat gol jungkir balik, juga pembuat rekor gol terbanyak di dunia. Roberto Carlos dengan tendangan bola matinya yang akurat, atau Ronaldinho dengan gol-golnya yang cantik.

Tapi bagaimana dengan catatan-catatan hidup yang buruk? Maradona dengan gol “tangan Tuhan”, tendangan kung fu Eric Cantona yang menyebabkan ia diskors, kasus doping Rio Ferdinand, bukanlah reputasi yang membanggakan. Kalau bisa catatan ini dihilangkan saja.

Catatan-catatan sepanjang perjalanan hidup akan menghasilkan sebuah reputasi. Reputasi adalah sebuah kesimpulan hidup, yang tersusun dari catatan-catatan itu; entah lebih banyak baik atau buruknya. Reputasi adalah sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan panjang, dalam triliunan detik yang dijalani setiap insan.

Saya memperhatikan beberapa orang yang mengingini jabatan lebih tinggi, presiden misalnya. Menjelang pemilihan presiden, ada di antara mereka yang tiba-tiba saja bisa menjadi seorang penulis buku. Buku otobiografi. Dikumpulkanlah catatan-catatan baik dalam hidupnya, dengan harapan akan nampaklah sebuah reputasi yang mengagumkan. Tapi sayangnya, catatan-catatan yang bisa membuatnya terpuruk disimpan rapat-rapat dengan harapan rakyat akan mengalami amnesia seumur hidup. Kemudian bukunya dikomentari oleh catatan-catatan kata dari para pengamat politik, atau tokoh-tokoh penting. Tindakannya dipuji-puji, dengan harapan catatan reputasi baik dalam buku itu, bisa dijadikan bahan acuan rakyat, agar memilihnya saat pemungutan suara. Begitulah salah satu cara orang menyusun reputasinya sendiri. Tapi catatan perjalanan reputasi paling lengkap, mungkin dicatat oleh hati nurani, dan data-datanya, baik atau buruk, dipantau langsung oleh “pencatat reputasi hidup yang abadi”, sebuah catatan yang pasti paling jujur, akurat, dan lengkap.

Perjalanan sebuah reputasi akan berakhir saat manusia mati. Ibarat pepatah mengatakan, macan mati meninggalkan belangnya, manusia mati meninggalkan nama. Sedangkan nama, entah baik atau buruk, terjadi karena perjalanan reputasinya.

Reputasi berakhir saat hidup juga ikut berakhir. Hidup adalah masanya menjaga reputasi. Steven Covey mengajak pembacanya untuk membayangkan apa yang akan dikatakan orang-orang yang mengenal kita saat masa berlaku di dunia berakhir. Apakah komentar mereka bagus atau buruk? Semuanya tergantung hidup di bumi, dan setelah nyawa meninggalkan bumi, tak ada lagi kesempatan kedua.

Saya tidak mungkin bisa melupakan final Champions antara MU dan Bayern tahun 1999. Saat itu, Bayern sudah menang 1-0, dan pertandingan sudah memasuki injury time, saat pertandingan hampir berakhir. Tapi di detik-detik terakhir itulah, dengan cerdiknya Ferguson memasukan dua pemain cadangan, Ole Gunnar Solksjaer dan Teddy Sheringham. Yang satu masih muda, dan yang satunya lagi sudah tua. Dua pemain yang mungkin tidak masuk hitungan tim lawan. Tetapi, sejarah mencatat bahwa kedua pemain itulah yang justru membuat gol. Bahkan MU menang dengan skor 2-1.

Lalu, apa hubungan antara kemenangan MU dan reputasi? Dari pertandingan itu, saya disadarkan bahwa sepak bola adalah representasi kecil dari hidup. Dari pengalaman Bayern, saya diajak untuk waspada, kalau sesungguhnya reputasi harus tetap dipertahankan setiap detik, hingga detik-detik terakhir. Karena godaan untuk jatuh, untuk membuat catatan reputasi jadi buruk, tersebar di setiap detik hidup yang berjalan ini. Selama masih hidup, dan selama belum mati, perjuangan untuk melakukan tanggung jawab masih terus-menerus dituntut oleh hidup ini. Jika saat ini kita berada di posisi atas, maka bukan tidak mungkin adan mengalami keterpurukan.

Karena reputasi yang baik punya saudara kembar siam: konsisten!

(Gheeto TW, Kick n' Goal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar