Kamis, 19 Agustus 2010

Kegagalan Demi Kegagalan (Soal Ketidaksempurnaan Manusia)

Kelihatannya saja Pavel Nedved, Thiery Henry, David Trezeguet, atau Adriano itu hebat, bisa melesakkan beberapa gol dalam setiap pertandingan, atau menjadi top scorer dalam satu liga. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, sebetulnya mereka cuma manusia yang hanya bisa membuat beberapa gol saja, bila dibandingkan dengan waktu hidup yang disediakan untuk mereka. Selebihnya hanyalah kegagalan demi kegagalan untuk menciptakan gol.

Saya punya teman yang tidak suka nonton bola. Bagi dia pertandingan bola itu blo’on banget. Masa’ ada 22 orang laki-laki di lapangan lari-larian kesana kemari cuma untuk mengejar satu bola, apanya yang menarik? Lagipula, sepanjang pertandingan teman saya itu hanya melihat usaha-usaha pemain untuk membuat gol, tapi sebagian besar dari usaha-usaha itu ternyata hanya berbuah kegagalan. Kira-kira dari 25 kali usaha untuk membuat gol, dan beberapa tendangan yang mendekati gawang, paling yang berhasil hanya 1, 3, atau 5 gol saja. Selebihnya adalah kegagalan demi kegagalan doang.

Saya pikirkan omongan dia. Mmm, ada betulnya juga pendapat dari pengamat “sepak blo’on” ini. Ternyata dari 90 menit waktu tersedia, sebuah tim hanya bisa membuat beberapa gol saja. Bagi teman saya itu, harusnya dari 5400 detik di 90 menit pertandingan itu, minimal ada 5000 gol! Bagi dia, menyaksikan pertandingan sepak bola hanyalah menyaksikan kegagalan demi kegagalan. Sedikit gol yang tercipta, tidak sebanding dengan waktu yang tersedia. Seharusnya, pencipta gol tidak punya sikap bangga diri, tapi sikap rendah hati, sambil berkata, “Duh, saya cuma bisa menghasilkan segini saja, saya tidak boleh berbangga diri….” Saya jadi mikir, apa bedanya dengan hidup ini. Seperti pertandingan bola, hidup ini, ternyata kalau dihitung-hitung, lebih banyak gagalnya daripada suksesnya. Ternyata kebanyakan hanya bisa membuat peluang untuk jadi gol, tapi tidak semua bisa jadi gol.

Soichiro Honda mengatakan, “Yang dilihat orang pada kesuksesan saya hanya 1%, tetapi apa yang tidak mereka lihat adalah 99%, yaitu kegagalan-kegagalan saya.” Suatu pengakuan yang luar biasa. Ia adalah salah satu manusia yang jujur dalam memandang hidup. Walau ia dikenal hebat dalam bidang otomotif, tetapi sesungguhnya kegagalan yang ia alami jauh lebih banyak dibandingkan keberhasilannya. Sama dengan permainan sepak bola, kesuksesan seorang pencetak gol hanyalah 1% dari 99% kegagalan mereka dalam berusaha mencetak gol ke gawang lawan.

Ternyata, manusia tidak punya alasan sama sekali untuk menjadi jumawa, atau sombong. Ternyata yang dilakukan manusia dalam hidup ini, jauh lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Itulah sebabnya, ilmu padi, “Semakin berisi, semakin merunduk” besar sekali artinya bagi hidup manusia. Artinya, semakin berisi, hebat, berprestasi, justru selayaknya makin rendah hati.

Saya jadi ingat kata-kata Ibu Teresa. Dia adalah pelayan kamu miskin di Calcuta, India. Suatu saat ada yang bertanya kepadanya, “Bu, Ibu telah melayani kaum miskin di Calcuta, tapi tahukah Ibu bahwa masih jauh lebih banyak orang yang tidak Ibu layani? Masih jauh lebih banyak orang miskin yang tidak terjangkau? Apakah Ibu tidak merasa gagal?” Dengan bijak Ibu Teresa menjawab, “Anakku, aku dipanggil bukan untuk berhasil, tapi aku dipanggil untuk setia….” Wow, jawaban yang luar biasa dari seorang yang rendah hati. Ia pernah mendapat hadiah Nobel, sebuah penghargaan yang luar biasa. Tapi ia punya ilmu padi, sehingga tidak muncul kesombongan, hanya kerendahatian yang ia tunjuakan. Karena ia tahu bahwa ternyata gol yang ia buat hanya sedikit, dan masih terlalu sedikit. Tidak ada alasan untuk membanggakan diri. Bagi Ibu Teresa, hidup adalah untuk tetap setia terhadap panggilan jiwanya.

Berbangga diri, mungkin tak seharusnya berlaku bagi pekerja lapangan hijau, apalagi pekerja kehidupan seperti kita.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)

Selasa, 17 Agustus 2010

The Best of Number Two (Soal Sadar Diri dan Menilai Diri)

Hidup ini tidak selamanya menjadi paling hebat, selalu jadi number one. Ada kalanya harus puas menjadi the best of number two, atau bahkan number three. Menjadi yang terbaik adala keharusan, dan melakukan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya bukanlah pilihan. Tapi untuk selalu menjadi yang nomor satu, tidak selamanya bisa dialami. Hidup ini wajar-wajar saja, tidak selalu di atas, tapi jangan sampai hobi terpuruk. Kalaupun terpuruk, ya, bangkit lagi.

Kita kenal salah satu pelatih yang the best, Arsene Wenger, yang pernah membawa Arsenal juara berturut-turut. Tapi di kancah eropa, justru belum pernah membawa timnya juara. Atau Guus Hiddink yang pernah melatih Korsel dan membawa Australia ke Piala Dunia 2006? Ia adalah salah satu yang the best. Tapi, walau kariernya dihormati di negeri orang, timnas negerinya orang itu belum memperoleh prestasi tertinggi di tangan Hiddink. Ia masih belum punya number.

Mereka-mereka itu adalah pelatih-pelatih yang selalu melakukan tanggung jawabnya dengan sangat baik, the best. Tapi mereka belum pernah merasakan jadi number one. Mereka adalah orang-orang yang the best, tapi belum menjadi the number one.

Ternyata dalam hidup ini kita harus jadi the best, tapi jangan menyesal kalau di zaman yang sama ternyata masih ada orang yang lebih hebat dan menempatkan kita dalam posisi number two. Tapi, tujuan mulia dari mengejar prestasi bukanlah untuk bersaing. Kadang terbayang di benak kita, “Kalau dia jadi nomor satu, saya juga harus jadi nomor satu.…” OK, kadang itu berhasil, kadang juga tidak. Manusia hidup bukan untuk saling mengalahkan. Kalau prinsip ini ada maka hasilnya adalah, “Saya nomor satu, kamu nomor dua.” Tetapi manusia hidup untuk saling respek, sehingga hasilnya adalah, “Kamu bagus, saya bagus, kamu bagus di sini, saya bagus di situ.”

Di zaman ini, manusia dilatih untuk selalu menjadi yang nomor satu. Manusia dilatih untuk tidak mengenal rasa takut, selalu berada pada prestasi puncak, bahkan dilatih untuk menyingkirkan rasa sama sekali. Tapi yang lebih parah adalah, manusia dimotivasi sedemikian rupa untuk menjadi “binatang-binatang aduan”, yang menekankan persaingan. Itulah sebabnya kemajuan manusia selalu beriringan dengan penyakit yang makin aneh-aneh dan mematikan, serta tingkat stres yang sangat tinggi. Manusia bukan mesin, dan tidak selamanya bisa berada dalam top performance. Selalu saja ada masa di mana manusia akan mengalami penurunan.

Mungkin ada baiknya untuk bisa membedakan, untuk menjadi the best atau menjadi number one. Menjadi nomor satu, titik pusat pergerakannya adalah persaingan. Carl lewis, sprinter kenamaan Amerika dalam film dokumenter The Ultimate Athlete, mengatakan, “Saat di garis start, saya tahu bahwa di kiri dan kanan saya adalah lawan-lawan saya yang siap mengalahkan saya. Tapi, saya tidak berlari untuk mereka….” Itulah sebabnya ia menjadi pelari dengan prestasi luar biasa. Ia berlari bukan untuk mengalahkan lawan, tetapi untuk menggapai tujuan dengan cara yang efektif dan cepat hingga garis finish. Itu saja resepnya. Dengan sendirinya, ia menjadi orang yang sekuat-kuatnya berlari untuk mencapai garis finish, walau tidak selamanya ia berada di prestasi terbaik sebagai the number one.

Menjadi yang terbaik, titik pusat pergerakannya bukan pada persaingan dan saling mengalahkan, tetapi pada pengerahan kemampuan yang terbaik dalam diri sendiri. Kalaupun harus menjadi nomor dua, setidaknya sudah melakukan yang terbaik. Menjadi yang terbaik bukan terpaku pada hasil, tapi pada kualitas hidup.

Kita diciptakan dengan kualitas terbaik yang telah diberikan Penguasa hidup. Jadi, melakukan yang terbaik adalah standar sehari-hari bagi hidup ini. Mengembangkan potensi diri yang sebesar-besarnya, perlu jadi gaya hidup. Tetapi jika di zaman yang sama hidup pula pribadi yang lebih baik dan menempatkannya menjadi nomor satu, it’s OK, karena yang penting adalah mempertanggungjawabkan hidup ini bagi Penguasa hidup itu tadi.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)

Minggu, 15 Agustus 2010

Waktu Terbatas (Soal Kesadaran pada Waktu)

Pertandingan bola, pasti dibatasi waktu. Mana ada main bola tanpa batasan waktu, kecuali main bola di gang depan rumah. Tidak beda dengan waktu hidup manusia. Ternyata hidup ini ada batasan waktunya. Suatu saat, tidak tahu kapan, waktu hidup ini akan habis masa berlakunya, dan manusia akan berada dalam kemenangan atau kesengsaraan yang abadi.

Saya ingat banget waktu final AC Milan melawan Liverpool dalam perebutan piala Champion tahun 2005. Waktu itu klub asal Inggris itu ketinggalan 0-3. Tapi dengan semangat yang luar biasa, mereka bisa menyamakan kedudukan, bahkan secara mengejutkan memenangkan pertandingan lewat adu pinalti! Saya salut dengan efektivitas waktu yang mereka gunakan untuk membawa klub asal Inggris itu menjadi jawara. Mereka benar-benar memanfaatkan waktu dengan disiplin dan ketat. Sehingga waktu yang digunakan tidak sia-sia.

Ups, ternyata waktu hidup manusia itu sama saja: terbatas. Suatu saat masa berlakunya akan berakhir. Bedanya kalau dalam sepak bola ada 2x45 menit. Jika ada babak tambahan, bisa 2x15 menit. Tapi yang jelas, waktu pertandingan terbatas dan bisa diprediksi. Susahnya, waktu pertandingan manusia dalam hidup ini tidak ketahuan kapan berakhirnya. Kalau pemain bola masih bisa mengira-ngira waktu permainan. Kalau manusia? Waduh susah memprediksinya. Waktu hidup ini bisa berakhir besok, tahun depan, atau sebentar lagi. Bisa saat sehat, sakit-sakitan, atau kecelakaan. Bahkan sehebat-hebatnya peramal dalam meramalkan hidup orang lain, ia hanyalah manusia rapuh yang tidak bisa memprediksi waktu kematiannya sendiri. Nobody knows.

Pernah nggak gemas saat melihat kesebelasan favorit tidak bikin gol juga, padahal waktu tinggal sedikit, dan posisi tim sedang ketinggalan? Mungkin itulah yang terjadi pada orang-orang disekitar kita yang gemas karena kita tidak bangkit-bangkit juga dari sikap santai atau malas. Mungkin ada yang harus diperbaiki dalam manajemen waktu pribadi. Mungkin perlu memperbaiki kualitas hidup agar waktu yang cuma satu kali ini dibuat jadi berarti. Mungkin perlu belajar dari tim-tim dunia, dalam memanfaatkan waktu secara efektif.

Selama satu tahun hidup setiap insan, usianya kurang lebih 31.536.000 detik. Setiap detiknya hanya akan dilalui satu kali saja seumur hidup. Tidak percaya? Coba saja catat hari ini tanggal berapa, bulan apa, tahun berapa, jam berapa lengkap dengan detiknya. Akankah hari, bulan, tahun, jam dan detik ini terulan lagi? Maka tidak salah, bukan, kalau belajar dari akurasi penggunaan bola dari pekerja-pekerja lapangan hijau tingkat dunia? Karena kualitas pemainan mereka ditentukan dari seberapa efektif mereka memanfaatkan bola di kaki, seberapa akurat bola itu bisa membantu menghasilkan gol, di tengah keterbatasan waktu. Pelatih memperhatikan detail-detail seperti ini. Itulah sebabnya setiap detiknya, pertandingan sangat menegangkan. Saat injury time, atau waktu menjelang akhir pertandingan, apalagi kalau skor sangat ketat, bisa jadi waktu yang sangat... sangat menegangkan buat seorang pekerja lapangan hijau, juga bagi penonton, apalagi pelatih. Kemampuan seorang pemain tingkat dunia untuk memanfaatkan waktu dengan efektif itulah yang membuatnya punya harga yang amat mahal. Tidak beda kan dengan hidup yang sesungguhnya?

Semua manusia mengalami masa hidupnya setiap hari, setiap bulan dan setiap tahunnya sama saja. Hanya saja, tidak semua mampu memanfaatkan waktu yang terbatas ini dengan akurat dan bijaksana. Herannya, maaf, kadang kala hewan dan tumbuhan jauh lebih berhikmat daripada manusia. Misalnya semut, yang tidak punya pemimpin tetapi tidak pernah kehabisan makanan kerena ia kumpulkan tiap musimnya dengan disiplin. Bunga dan dedaunan adalah makhluk yang sangat sadar musim, tahu kapan waktu pembiakannya, dan tidak pernah kehabisan waktu. Tapi manusia, menurut Laurie Beth Jones dalam The Path (Kanisius, 2003) adalah satu-satunya spesies yang bisa menjadi pengangguran! Kenapa? Karena cuma manusia yang tahu apa artinya buang-buang waktu, tapi ya, dibuang-buang juga waktu yang dimilikinya itu. Cuma manusia yang bingung akan tujuan hidupnya. Sedangkan hewan dan tumbuhan selalu berkembang biak dalam musim kawin, dan berbuah pada musimnya secara teratur sejak mereka benih atau janin. Semuanya tepat waktu, teratur, konsisten, dan berkembang biak sesuai musimnya, walau tak ada pengontrolnya. Sekali-kali manusia perlu belajar dari ciptaan yang derajatnya lebih rendah.

Efektivitas terhadap waktulah yang membuat manusia jadi “mahal” dan “murahan.” Pekerja lapangan hijau adalah representasi kecil dari pelaku efektivitas itu, dan hitup ini adalah representasi besarnya.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)

Jumat, 13 Agustus 2010

Kiper Juga Manusia (Soal Keterbatasan Manusia)

Sorry kalau saya plesetin lagunya Seurieus, “Rocker Juga Manusia”, tapi serius deh, kiper juga manusia, bahkan kiper menunjukan siapa manusia sesungguhnya. Saya suka banget dengan beberapa pekerja lapangan hijau yang berada di bawah mistar gawang. Bagi saya, kiper yang bagus adalah punya perawakan tinggi, sigap, agak galak, dan punya pergerakan cepat. Misalnya Edwin Van Der Sar, kiper Belanda yang pernah main di Juve, terus ke Fulham, dan MU. Orang ini tinggi dan jago. Gawang MU jadi jarang kebobolan karenanya. Di Italia, ada Buffon yang tinggi, besar, dan mengerikan di bawah mistar.

Tapi di luar fenomena ajaib beberapa kiper tadi, ternyata kiper juga manusia biasa. Dan lebih lagi, kiper merupakan presentasi dari hidup ini sebagai manusia. Maksudnya begini. Apa sih ukuran keberhasilan seorang kiper? Apakah kiper yang berhasil itu adalah kiper yang tidak pernah kebobolan? Kalau itu ukurannya, mana ada kiper yang berhasil, karena semua juga pernah kebobolan. Ternyata kiper yang bagus, bukanlah kiper yang sama sekali tidak pernah kebobolan; tapi yang kebobolannya minimal.

Pelatih tentu akan kesengsem melihat kiper yang andal. Tapi rasanya tidak ada pelatih yang menuntut armada kipernya agar tidak pernah kebobolan sama sekali. Rasanya pelatih dapat mengerti kalau kipernya pernah melakukan beberapa kali kesalahan sehingga gawangnya kebobolan. Tapi pelatih akan segera bereaksi keras kalau gawangnya kebobolan melulu. Anggap saja hidup ini adalah “gawang” yang harus dijaga. Hidup ini indah, bukan? Tetapi ternyata hidup ini perlu dijaga supaya hidup ini tidak terjerumus dan hancur berantakan. Bahkan “gawang” kehidupan ini perlu dijaga jauh lebih lama dari kiper di lapangan.

Pertanyaannya adalah, apakah manusia bisa menjaga gawang kehidupannya dengan sempurna? Nah, itulah gunanya belajar dari kiper. Kiper paling hebat sekalipun, kalau dia loncat ke sisi kiri gawangnya, maka pasti yang kanan akan kosong. Kalau dia loncat ke kanan, pasti yang kiri kosong. Kalau dia loncat ke atas, maka sisi bawah akan lowong. Terlalu sering penjaga gawang tertipu oleh striker pintar macam Ronaldo. Kirain mau nendang ke kiri, nggak taunya ke kanan.

Setiap kali melihat kehebatan manusia, sesungguhnya akan terlihat pula, di saat yang sama, kelemahannya. Sehebat-hebatnya manusia, tetaplah ia insan dengan keterbatasan yang tidak “maha bisa.” Sisi baik seseorang manusia akan berjalan beriringan dengan kelemahan-kelemahannya. Manusia tidak omnipresence, hadir di segala tempat dalam satu waktu. Kiper-lah contohnya. Kehebatan manusia di satu bidang sesungguhnya akan diikuti ketidakmampuan di bidang lain. Kejeniusan Einstein di satu sisi, dibarengi kepikunannya yang parah. Kegemilangan prestasi Michael Jackson yang albumnya bisa habis lebih dari 50 juta kopi, disertai dengan kekosongan hidupnya akibat masa kecil yang habis untuk kegiatan menyanyi, ditambah dengan kesukaannya mengutak-atik tubuhnya dengan operasi plastik.

Setiap melihat para pekerja lapangan hijau beraksi dalam sebuah pertandingan sepak bola, terutama pada kiper, saya selalu bertobat untuk yang kesekian ratus kalinya memandang diri saya sendiri. Ya ampun, ternyata sisi baik dalam diri saya selalu diiringi dengan kelemahan dan keterbatasan. Bodohnya saya, kalau masih suka merasa bangga diri. Betapa gawang kehidupan ini tidak bisa saya jaga sendiri. Saya perlu menjaganya bersama orang-orang di sekeliling saya, rekan-rekan satu tim. Saya juga selalu merasa kecil dan hina, betapa tak mampunya saya menguasai seluruh lapangan kehidupan. Saya ternyata hanya bisa bertanggung jawab di sekitar kotak pinalti, tempat saya menjaga gawang hidup. Masih terlalu banyak pekerjaan yang tidak dan belum saya lakukan. Masih terlalu banyak waktu yang saya gunakan untuk diri sendiri.

Di tengah keterbatasan saya, saya cuma bisa mencoba untuk setia dengan panggilan hidup, walau mungkin cuma secuil. Yang saya dapat lakukan saat ini hanyalah memberitahukan sebuah pesan yang kecil dan sederhana kepada Anda bahwa yang kita lakukan selama ini masih sangat kecil dan tak berarti, hidup ini adalah karena rahmat yang tak terperi. Semoga ini berguna untuk mengikis kadar jumawa dalam hati. Karena tinggi hati hanyalah bukti bahwa manusia terlalu naïf memandang prestasi diri. Kadang kala, prestasi manusia terlalu dijunjung tinggi, padahal di bagian dunia lain masih banyak orang yang sama sekali tak menikmati secuil pun prestasi yang dianggap tinggi. Berterimakasihlah kepada kiper yang mempresentasikan ini.

(Gheeto TW, Kick n’ Goal)