Kamis, 10 Februari 2011

Arti Ketekunan

Aku salah seorang mantan guru sekolah musik dari Des Moines, Iowa. Selama 30 tahun aku mengajar piano. Selama itu pula aku menemukan bahwa setiap anak mempunyai kemampuan musik yang berbeda. Aku tidak pernah merasa telah berbuat sesuatu yang besar, walaupun aku telah mengajar beberapa murid yang berbakat. Meski demikian, aku ingin bercerita tentang seorang muridku yang paling berkesan, namanya Robby.

Robby berumur 11 tahun saat ibunya memasukkannya untuk mengikuti les pertama kalinya. Sebenarnya, aku lebih suka kalau muridku mulai belajar pada usia yang lebih muda. Dan, aku menjelaskan hal tersebut kepada Robby. Tetapi Robby mengatakan bahwa ibunya ingin sekali mendengar ia bermain piano. Jadi, aku menerimanya sebagai murid.

Lalu, Robby memulai kursus pianonya. Sejak awal, aku berpikir bahwa ia tidak ada harapan. Robby mencoba, tetapi ia tidak mempunyai perasaan akan nada maupun irama dasar yang perlu dipelajari. Namun, ia dengan serius mempelajari tangga nada dan beberapa pelajaran awal yang aku wajibkan untuk dipelajari oleh semua murid.

Selama beberapa bulan, ia terus mencoba dan mendengarnya dengan ngilu, tetapi tetap memberinya semangat. Setiap akhir pelajaran mingguan, dia selalu berkata, “Ibuku pasti akan mendengarkan aku bermain piano pada suatu saat nanti.” Tetapi, rasanya semua sia-sia saja, ia memang tidak mempunyai bakat.

Aku sering melihat ibunya dari jauh, saat menurunkan dan menjemputnnya. Ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, tetapi tidak pernah turun. Pada suatu ketika, Robby tidak datang les lagi, dan aku pernah berpikir untuk menghubunginya. Tetapi dalam hati aku berpikir bahwa karena ketidakmampuannya, mungkin ia mengambil kursus bidang lain. Aku juga senang karena ia tidak datang lagi. Ia menjadi iklan yang buruk bagi tempat kursusku!

Beberapa minggu sesudahnya, aku mengirimkan undangan kepada semua murid, termasuk Robby, mengenai pertunjukan yang akan dilaksanakan. Hal yang membuatku kaget adalah ketika Robby meminta agar ia dapat ikut bermain dalam pertunjukan tersebut. Awalnya, aku menolak dan mengatakan bahwa pertunjukan itu hanya untuk murid yang ada sekarang. Karena ia telah keluar, tentu ia tidak dapat ikut serta. Robby mengatakan bahwa ibunya sakit sehingga ia tidak bisa mengantarkannya ke tempat kursus, tetapi dia tetap terus berlatih.

“Bu Honford, tolonglah... aku ingin ikut bermain!” Ia meminta dengan memelas. Aku tidak tahu hal apa yang membuatku akhirnya menizinkannya bermain pada pertunjukan itu. Mungkin karena kegigihannya atau mungkin ada suara yang berkata dalam hatiku bahwa ia akan baik-baik saja.

Tibalah malam saat pertunjukan itu berlangsung. Aula itu dipenuhi oleh para orang tua, teman, dan relasi. Aku menaruh Robby pada urutan terakhir untuk bermain sebelum giliranku maju ke depan, untuk berterima kasih dan memainkan bagian terakhir. Aku yakin bahwa Robby akan membuat kesalahan dan aku akan menutupinya dengan permainanku.

Pertunjukan itu berlangsung tanpa masalah. Murid-murid telah berlatih dan hasilnya baik. Lalu, tibalah giliran Robby untuk naik ke panggung. Bajunya kusut dan rambutnya berantakan. “Kenapa dia tidak berpakaian seperti murid lainnya?” pikirku, “Kenapa ibunya tidak menyisir rambutnya, setidaknya untuk malam ini?” Robby menarik kursi piano dan mulai bermain.

Aku terkejut saat ia menyatakan akan memainkan Mozart Concerto #21 pada C Mayor.

Jarinya lincah di atas tuts, bahkan menari dengan gesit. Ia berpindah dari pianissimo ke fortissimo... dari allegro ke virtuoso. Accord gantung yang diinginkan Mozart sangat mengagumkan! Aku tidak pernah mendengar lagu Mozart dimainkan oleh seorang seusia dia dan sebagus itu!

Setelah enam setengah menit, Robby mengakhirinya dengan crescendo besar dan semua orang terpaku di sana, dengan tepuk tangan yang meriah. Dengan berurai air mata, aku naik ke panggung dan memeluk Robby dengan sukacita. “Aku belum pernah mendengar kau bermain seperti itu, Robby! Bagaimana kau dapat melakukannya?”

Melalui pengeras suara Robby menjawab, “Ibu Honford... ingatkah saat kukatakan bahwa ibuku sakit? Ya, sebenarnya ia sakit kanker dan ia telah meninggal dunia pagi ini. Dan sebenarnya... ia tuli sejak lahir. Jadi, hari inilah ia pertama kali mendengar aku bermain piano. Dan, aku ingin bermain secara khusus.”

Tiada seorang pun yang matanya kering malam itu. Ketika orang-orang dari panti sosial membawa Robby dari panggung ke ruang pemeliharaan, aku menyadari bahwa meskipun mata mereka merah dan bengkak, betapa hidupku jauh lebih berarti karena telah mengambil Robby sebagai muridku.

Tidah, aku tidak pernah menjadi penolong, tetapi malam itu aku menjadi orang yang ditolong oleh Robby. Dialah guru dan akulah muridnya.

Karena Robby-lah yang mengajarkan arti ketekunan, kasih, percaya pada diri sendiri, dan bahkan mau memberi kesempatan kepada seseorang yang dianggap buruk.

Peristiwa ini semakin berarti bagiku, saat aku mendengar kabar bahwa Robby terbunuh dalam pengeboman yang tidak masuk akal yang terjadi di Alfred P. Murah Federal Building di Oklahoma pada bulan April 1995. Saat itu dilaporkan bahwa Robby sedang bermain piano.

Oleh sebab itu, percayalah bahwa ketekunan, kasih, dan rasa percaya diri akan memiliki suatu arti. Ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

***

Begitulah, kadang kita begitu mudah menganggap remeh orang lain. Kita kadang tidak pernah mau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk membuktikan kemampuannya atas sesuatu. Kita lebih sering mengukur dan menimbang kemampuannya melalui penglihatan fisik. Penilaian yang diambil dalam waktu singkat melalui perbincangan singkat.

Tak jarang, kita begitu takut menghadapi kekecewaan dan begitu takut untuk dipermalukan di hadapan orang banyak, sehingga kita memilih untuk menurunkan standar pengharapan (lowering expectation) kita akan sesuatu atau atas seseorang.

Lebih baik mencegah daripada harus memperbaiki. Apalagi kalau kita sudah mengetahui konsekuensinya. Tetapi sesungguhnya, jika kita membuka hati, berani mengambil risiko untuk menghadapi segala sesuatu, percayalah, kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga. Menaruh pengharapan penuh akan hal yang indah yang dapat kita raih dan dapat kita ciptakan. Karena, segala sesuatunya adalah datang dari dalam diri kita sendiri.

Ketulusan adalah sesuatu hal yang indah, yang mendatangkan kebaikan, yang menyempurnakan segala sesuatunya. Jagalah hati, supaya diri kita selalu tulus dan membuka hati, menerima segala sesuatu dengan apa adanya, tanpa embel-embel atau pamrih. Tuhan-lah yang membalaskan segala sesuatunya kepada kita. Lakukanlah yang terbaik, dan biarkanlah Tuhan yang menyempurnakannya. Percayalah, apa saja yang kita lakukan, pasti berhasil.

(Abdul Azid Muttaqin, Monyet & Kacang Kegemarannya)