Senin, 08 November 2010

Menuntut Diri (Soal Disiplin Diri)

Ternyata, jadi seorang Beckham atau Ronaldinho benar-benar tidak gampang. Kenapa? Karena mereka adalah orang-orang yang terlatih. Tidak ada hari tanpa melatih diri untuk membuat tendangan mereka akurat. Kalau Beckham berlatih, dia bukan cuma berlatih menendang bola ke gawang. Tetapi di gawang itu, dia gantung ban bekas. Baginya, keberhasilan tendangannya bukan cuma masuk ke gawang, tetapi masuk ke lubang ban itu. Ternyata dia terbiasa menuntut diri dengan standar yang tinggi, sehingga tidak heran kalau tendangannya lebih banyak yang akurat, walau sesekali dia membuat blunder juga.

Untunglah ada para pekerja lapangan hijau, sehingga masih bisa belajar sesuatu. Umumnya, mereka punya disiplin diri yang tinggi, punya target pribadi yang kuat, dan winning philosophy yang berani. Coba saja simak pemain muda asal Brazil, Ronaldinho, untuk musim kompetisi dan kejuaraan dunia yang ia ikuti. Pemain yang arti namanya dalam bahasa Portugal adalah Little Ronaldo ini dengan berani mengatakan, bahwa bersama timnya di Barcelona maupun di timnas Brazil, ia akan mempertahankan gelar Liga Primera Spanyol, merebut tropi Liga Champion, dan menjuarai Piala Dunia 2006!

“Tiga kompetisi ini yang paling penting buat saya. Saya akan bekerja maksimal untuk mendapatkan satu demi satu gelar itu dalam musim ini, “ kata striker Brazil ini. Eh, belum tujuannya tercapai, ia malah mendapat gelar pemain terbaik di Eropa, bahkan di dunia di tahun 2005! Pantas saja dia jadi pemain besar….

Terlepas apakah tekadnya kesampaian atau tidak, ia punya standar prestasi yang tinggi, filosofi bertanding yang berani, dan tentu juga karena didukung oleh kemampuan diri dan timnya di Barcelona dan Brazil. Dalam konteks masing-masing, dengan kemampuan masing-masing, perlu juga filosofi seperti ini. Tentu jangan membuat target berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuan sehingga membuat kita jadi pemimpi yang cenderung gila, tapi juga jangan sampai tidak punya target sama sekali dan lebih banyak bersikap santai-santai aja.

Tetapi, semua tidak datang secara instan dan otomatis. Semua adalah berkat kerja keras, melatih diri, dan punya sikap menuntut diri untuk menang.

Inilah yang sangat kurang pada mental bangsa kita yang merasa di surga melihat tanggal-tanggal libur di kalender. Bangsa ini masih belum terlatih dan belum mau melatih diri untuk bersaing secara sehat dan memiliki standar yang memacu diri lebih maju. Bangsa ini lebih suka merendahkan lawan agar dirinya tampak baik, daripada mengoreksi diri agar dirinya lebih baik daripada lawan.

Kebanyakan masyarakat di negeri ini masih sangat miskin; bukan hartanya, tetapi kualitas untuk menuntut dirinya.

(Gheeto TW, Kick n' Goal)

Reputasi (Soal Menjaga Hidup Dengan Konsisten)

Setiap pemain punya catatan hidup sendiri-sendiri dalam perjalanan hidupnya. Pele terkenal akan reputasinya sebagai pembuat gol jungkir balik, juga pembuat rekor gol terbanyak di dunia. Roberto Carlos dengan tendangan bola matinya yang akurat, atau Ronaldinho dengan gol-golnya yang cantik.

Tapi bagaimana dengan catatan-catatan hidup yang buruk? Maradona dengan gol “tangan Tuhan”, tendangan kung fu Eric Cantona yang menyebabkan ia diskors, kasus doping Rio Ferdinand, bukanlah reputasi yang membanggakan. Kalau bisa catatan ini dihilangkan saja.

Catatan-catatan sepanjang perjalanan hidup akan menghasilkan sebuah reputasi. Reputasi adalah sebuah kesimpulan hidup, yang tersusun dari catatan-catatan itu; entah lebih banyak baik atau buruknya. Reputasi adalah sebuah perjalanan. Sebuah perjalanan panjang, dalam triliunan detik yang dijalani setiap insan.

Saya memperhatikan beberapa orang yang mengingini jabatan lebih tinggi, presiden misalnya. Menjelang pemilihan presiden, ada di antara mereka yang tiba-tiba saja bisa menjadi seorang penulis buku. Buku otobiografi. Dikumpulkanlah catatan-catatan baik dalam hidupnya, dengan harapan akan nampaklah sebuah reputasi yang mengagumkan. Tapi sayangnya, catatan-catatan yang bisa membuatnya terpuruk disimpan rapat-rapat dengan harapan rakyat akan mengalami amnesia seumur hidup. Kemudian bukunya dikomentari oleh catatan-catatan kata dari para pengamat politik, atau tokoh-tokoh penting. Tindakannya dipuji-puji, dengan harapan catatan reputasi baik dalam buku itu, bisa dijadikan bahan acuan rakyat, agar memilihnya saat pemungutan suara. Begitulah salah satu cara orang menyusun reputasinya sendiri. Tapi catatan perjalanan reputasi paling lengkap, mungkin dicatat oleh hati nurani, dan data-datanya, baik atau buruk, dipantau langsung oleh “pencatat reputasi hidup yang abadi”, sebuah catatan yang pasti paling jujur, akurat, dan lengkap.

Perjalanan sebuah reputasi akan berakhir saat manusia mati. Ibarat pepatah mengatakan, macan mati meninggalkan belangnya, manusia mati meninggalkan nama. Sedangkan nama, entah baik atau buruk, terjadi karena perjalanan reputasinya.

Reputasi berakhir saat hidup juga ikut berakhir. Hidup adalah masanya menjaga reputasi. Steven Covey mengajak pembacanya untuk membayangkan apa yang akan dikatakan orang-orang yang mengenal kita saat masa berlaku di dunia berakhir. Apakah komentar mereka bagus atau buruk? Semuanya tergantung hidup di bumi, dan setelah nyawa meninggalkan bumi, tak ada lagi kesempatan kedua.

Saya tidak mungkin bisa melupakan final Champions antara MU dan Bayern tahun 1999. Saat itu, Bayern sudah menang 1-0, dan pertandingan sudah memasuki injury time, saat pertandingan hampir berakhir. Tapi di detik-detik terakhir itulah, dengan cerdiknya Ferguson memasukan dua pemain cadangan, Ole Gunnar Solksjaer dan Teddy Sheringham. Yang satu masih muda, dan yang satunya lagi sudah tua. Dua pemain yang mungkin tidak masuk hitungan tim lawan. Tetapi, sejarah mencatat bahwa kedua pemain itulah yang justru membuat gol. Bahkan MU menang dengan skor 2-1.

Lalu, apa hubungan antara kemenangan MU dan reputasi? Dari pertandingan itu, saya disadarkan bahwa sepak bola adalah representasi kecil dari hidup. Dari pengalaman Bayern, saya diajak untuk waspada, kalau sesungguhnya reputasi harus tetap dipertahankan setiap detik, hingga detik-detik terakhir. Karena godaan untuk jatuh, untuk membuat catatan reputasi jadi buruk, tersebar di setiap detik hidup yang berjalan ini. Selama masih hidup, dan selama belum mati, perjuangan untuk melakukan tanggung jawab masih terus-menerus dituntut oleh hidup ini. Jika saat ini kita berada di posisi atas, maka bukan tidak mungkin adan mengalami keterpurukan.

Karena reputasi yang baik punya saudara kembar siam: konsisten!

(Gheeto TW, Kick n' Goal)